Oleh:
Muhammad Eka
Hidayatullah
Abstrak
Eutrofikasi perairan terjadi akibat pesatnya laju
pertumbuhan gagngang pengganggu ekosistem perairan yang disebakan senyawa
nitrogen dan atau fosfor yang terbuang keperarian dalam bentuk senyawa fitat
(myo-inositol 1, 2, 3, 4, 5, 6-hexa kis dihidrogen fosfat, InP6) dari fosfat di
alam yaitu sebagian besar terdapat dalam jenis tanaman kacang-kacangan,
serealia, dan biji penghasil minyak, dalam bentuk fitat sehingga,
keluar bersama feses hewan ternak dan di rombak oleh mikroba sehingga, fosfor
terlepas dan menjadi polusi. Pencegahan dengan enzim bisa dilakukan karena
enzim memilki keunikan 100% dalam mepercepat rekasi kimia, hanya dengan
sejumlah kecil saja dapat merobak sebuah molekul dalam tingkat subsatrat tampa
menguba posisi keseimbangan. Enzim
fitase (Myo-inositol
heksakisfosfat fosfohidrolase) adalah enzim yang dapat
mendefosforilasi mulekul fitat yang dapat melepas fosfor (P) karena enzim
fitase meiliki kemampuan untuk melepas molekul fosfor (H2PO4) pada atom C dari
gugus benzena Inositol. Pemanfaatan fitase pada pakan dapat mengoptimalakan
pemanfaatan unsur P pada hewan monogastrik serta dapat mereduksi polusi P pada
lingkungan sehingga eutrofikasi perairan dapat dicegah sedini mungkin.
Kata
kunci: Fitase, Senyawa Fitat, Fosfor, Eutrofikasi Perairan
Pendahuluan.
Eutrofikasi perairan merupakan hal yang sangat
bebahaya dimana proses yang kopleks terjadi diperairan dan laut akibat
pertumbuhan ganggang pengganggu ekosistem dari jenis tertentu yang cukup tinggi
karena berinteraksi langsung dengan lingkungan sehingga, menjadi ancaman bagi
kesehatan hewan dan manusia. Penyebab utama eutrofikasi adalah konsentrasi yang
berlebihan dari nutrisi tanaman berasal dari pertanian atau pengolahan limbah
(Ménesguen A., et al., 2002). Selain
itu dapat menyebabakan pesatnya pertumbuhan cyanobacterial yang dapat menjadi
racun, menyebabkan hipoksia, dan mengganggu jaring makanan (Conley D. J., et la,. 2009). Seiring dengan perkembangan aktivitas manusia, berbagai faktor
lingkungan dapat mempengaruhi kondisi perairan, misalnya faktor fisika dan kimia
perairan (Simanjuntak M., 2009).
Nutrisi seperti senyawa fitat yang terdapat pada
biji-bjian yang tidak bisa dicerna oleh sistem pencernaan hewan non rumanansia
sehingga senyawa fitat terbuang bersama kotoran dalam bentuk ikatan fitat
dengan fosfor (P) ke lingkungan secara simultan, implikasinya terjadi kerusakan
ekologis yang sangat serius. Sumber limbah ternak yang mengandung P pada fitat
merupakan sumber polusis (Nuhriawangsa A. M. P., et al., 2012). Selain limbah kotoran ternak residu pupuk yang
tidak dapat diserap oleh tanaman dapat memacu eutrofikasi (Dwidayanti A. ., et al., 2012).
Senyawa fitat yang
ada dalam kotoran ternak bukan saja terdapat dalam biji-bijian yang tidak bisa
dicerna namaun para peternak juga menggunakan P hasil industry karena biaya
pakan yang cukup mahal. Biaya
pakan dapat mencapai 60-80% dari biaya produksi (Agustini N, 2010).
Selain menimbulkan etrofikasi, fitat yang ada dalam air juga dapat menurunkan
berat dan pertumbuhan ikan jika peningkatan kadar fitat 1,1% sampai 2,2% dan
penambahan natrium fitat (25,8 g-kg 1) dalam pakan. Hasil penelitian menjelakan
dampak negatif dari asam fitat yang ditambah pada pakan maupun yang keluar
bersam kotoran hewan. Hewan air seperti ikan mas akan berdampak langsung pada
penuruanan pertumbuhannya (Debnath D.
2005). Masalah eutrofikasi perairan yang diakaibatkan oleh senyawa fitat ini
perlu mendapatkan perhatian dari semua kalangan sehingga pencegahan dapat
dilakukan sedini mungkin. Solusi dari permasalah lingkungan perairan bisa
dilakukan dengan menggunakan penambahan enzim fitase pada pakan ternak untuk
mencagah keluarnya fitat pada kotoran hewan non rumanansia.
Fitase merupakan salah satu enzim yang tergolong
dalam kelompok fosfatase yang
mampu menghidrolisis senyawa fitat menjadi myo-inositol dan fosfat
anorganik. Studi tentang fitase sangat pesat pada bebarapa tahun terakhir
karena enzim ini bermanfaat terutama sebagai campuran pakan ternak guna mereduksi senyawa fitat,
sehingga pemanfaatan unsur fosfor dalam tubuh ternak non ruminansia menjadi
optimal sehingga, eutrofikasi dipermukaan
perairan dapat dicegah (Sajidan, et.,
al., 2009)
Eutrofikasi
Perairan.
Kata “eutrofikasi” sekarang sedang digunakan
sebagai sebuah perspektif dalam menjaga kualitas ekologi perairan, misalnya
dalam Direktif Uni Eropa dan berbagai perjanjian internasional mendefenisikan
"Eutrofikasi adalah percepatan pertumbuhan ganggang dalam bentuk yang
lebih tinggi yang disebabkan oleh pengayaan air oleh nutrisi tanaman, terutaman
senyawa nitrogen dan atau fosfor sehingga, menimbulkan gangguan kesemimbangan
organisme yang ada dan hadir pada perairan tersebut (Ménesguen A., et al., 2002).
Penumpukan nutrisi tanaman secara bertahap pada
ekosisitem selama jangka waktu tertentu dan bisanya akan mengarah ke muara
produktif, sehat dan lingkungan laut. Kondisi ini, meliputi oksigen terlarut
rendah konsentrasinya, penurunan rumput laut, dan alga berbahaya meningkat, ini
semua dapat mempengaruhi penggunaan muara dan sumber daya pesisir dengan
mengurangi keberhasilan perikanan komersial dan menyebabkan masalah bau dari
pembusukan jumlah alga berlebihan. Meskipun banyak penelitian tentang hal ini
namun bagaimanapun, hubungan antara eutrofikasi pesisir dan efek pada hidup
sumber daya kelautan dan perikanan tidak dipahami dengan baik atau dihitung
(Clement et., al., 2001).
Tingginya kepadatan akibat berkembang pesatnya
berbgai macam tumbuhan berbahaya mengakibatkan fiktolanton meningkat biasanya
dengan lingkungan air yang padat mereka berkembang biak dengan cepat.
Fiktoplanton sangat menyukai kepadatan tinggi sehingga, implikasinya disepanjang
perairan mengeluarkan bau bekuan atau massa fiktoplanton membusuk yang
menurunkan nilai rekreisi para wisatawan. Perkembangan fiktoplanton menyebakan
produksi toksin (racun) meningkat yang dapat menyebar luaskan penyakit. Sangat
jarang eutrofikasi terjadi secara alami (Prepas E. E. &, Charette T.,
2003).
Senyawa
fitat dan fosfor (P).
Asa m fitat (myo-inositol 1, 2, 3, 4, 5, 6-hexa kis
dihidrogen fosfat, InP6) adalah bentuk penyimpanan fosfat di alam (Singh N. K., et. al., 2013) sebagian
besar terdapat dalam jenis tanaman kacang-kacangan, serealia, dan biji
penghasil minyak, misalanya pada jagung, kedelai dan gadum mengandung asam
fitat 1-2% berat kering namun beberapa tanaman lain dapat
mengandung 3-6% berat kering (Kusumadjaja A. P., 2012) sedangkan dedak
padi mengandung 1,44 % fosfor dan 80 % di antaranya dalam bentuk fitat (Siti
Wahyuni H.S., 2003) pada kondisi alami, asam fitat
bersifat sebagai agen pengkhelat yang akan membentuk ikatan baik dengan mineral
bervalensi dua (P, Ca, Mg, Fe), maupun dengan protein menjadi senyawa yang
sukar larut. (Puspitaningrum A., et al., 2014).
Sebagian besar fosfor yang hadir dalam biji-bijian sereal, kacang-kacangan dan
biji-bijian minyak dalam bentuk fitat. Fosfor
fitat tidak tersedia untuk hewan monogastrik (seperti unggas, babi dan ikan) karena
kurangnya tingkat yang memadai enzim fitase dalam saluran pencernaan mereka (Mishra I. G., et al., 2014). Fosfor merupakan unsur nonlogam dalam tabel
periodik diberi simbol P, nomor atom 15. Fosfor di alam sebagian besar
ditemukan dalam senyawaan fosfat sebagai batu fosfat. Fosfor memiliki tiga
bentuk (alotrop) yaitu fosfor putih, fosfor merah dan fosfor hitam. Fosfor
putih tersusun atas 4 atom P dengan bentuk tetrahedral, sedangkan fosor merah
dan fosfor hitam struktur yang dimiliki belum diketahui secara jelas namun
diduga polimer atau gabungan dari molekul P4 (Seran E., 2010). Fosfor
organik umumnya Bisa naik 30% -80% dari Total P pada lapisan permukaan tanah,
dan sekitar setengah dari P organik adalah asam fitat dan turunannya (Shengfang H., et al.,
2007).
Enzim Sebagai Katalisator.
Enzim disebut sebagai katalis biologis karena enzim
dapat negubah suatu reaksi kimia, hanya dibutuhkan sejumlah kecil enzim untuk
melakukan perubahan besar termasuk merombak
pada molekul substrat (Bintang M., 2010). Enzim dapat dihasilkan dari
tanaman, hewan dan mikroba (Hidayat N., et
al., 2006) biasanya terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam
sel, dalam hal ini mereka meningkatkan laju reaksi tampa mengubah posisi keseimbangan.
Laju reaksi ke depan maupun kebalikanya ditingkatkan dalam faktor yang tetap
sama (Ngili Y., 2013). Enzim sangat unik bahwa mereka sangat selektif untuk
memilih substrat (Zat atau molekul yang membuat mereka aktif) dan produk akhir
yang dihasilkan. Sebuah analog tentang bagaimana enzim bisa berfungsi dan
menghasilkan produk akhir tertentu. Enzim dan substrat memiliki konfigurasi
yang unik dan merupakan sebuah kunci yang bisa membuka mereka. Enzim biasanya
memiliki kondisi ideal (suhu, pH dll) dimana mereka berfungsi lebih bagus,
misalanya fitase tanaman bekerja lebih baik pada 45OC hingga
60 oC (113-140° F) sedangkan fitase mikroba lebih baik
pada rentang suhu 35-63o C (95 untuk 145o F) (Applegate T. J. & Richert B., 2007).
Enzim Fitase.
Fitase
adalah enzim yang dapat mendefosforilasi mulekul fitat yang dapat melepas
fosfor (P) dan kation divalen lain yang dapat digunakan oleh ayam broiler
(pedaging) atau hewan non rumanansia lainnya (Junqueira O. M.,
et al., 2011). Fitase merupakan kelompok enzim fosfatase seperti yang
dijelakan diatas. Tahun 1977 International Union of Pure and
Apllied Chemistry (IUPAC) mengelompokkan enzim fitase menjadi 2 yaitu: 3-fitase
dan 6-fitase. Pengelompokan ini didasarkan pada kemampuan enzim fitase untuk
melepas molekul phosphor (H2PO4) pada atom C dari gugus benzena Inositol. Enzin
3-fitase tedapat dalam miroba yang memilki kemampuan menghidrolisis molekul
fosfor pada atom C nomor 3 dari gugus benzena inositol. Namun setelah itu
Greiner tahun 1993 menemukan 6-fitase dari bakteri Escherichia coli strain ATCC
33965 (Sajidan., 2009).
Selain kemampuan mereka untuk membuat fosfor fitat tersedia, juga
penghapusan kelat pembentuk fitat yang dikenal mengikat mineral penting, selain
itu efek menguntungkan lain dari aktivitas fitase adalah sebagian besar fitase
mikroba dikodekan oleh gen yang telah berevolusi dari fosfatase asam histidin
yang mengandung motif urutan RHGXRXP dengan pengecualian dari gen E. coli Appa.
Namun berdasarkan dari sedikit informasi bahwa bakteri tanah yang dikenal
sampai sekarang dan satu-satunya yang memiliki gen fitase yaitu Bacillus spp.
tetapi tidak mengandung motif urutan RHGXRXP. Namun gen fitase yang mengkode
Klebsiella spp. masih belum diketahui. Berangkat dari hal ini dilakukan survei
fitase yang diproduksi oleh bakateri dari sampel tanah sawah Indonesia, dari
hasil survei dilaporkan bahwa gen yang mengkode fitase yang dapat mendegradasi
fitat adalah enzim fitase dari Klebsiella sp. ASR1 memiliki karekter produk
fungsional yang dapat mendegradasi fitat ke Myo-inositol monofosfat [Ins (2) P].
urutan asam amino ini dideduksi dari 3-fitase-encoding gen phyK yang ditemukan
berbeda dari yang lain tapi mengandung motif urutan yang umumnya dilestarikan
difosfatase asam histidin (Sajidan A., et.,
al., 2004a).
Mekanisme
Eotrifikasi Akibat kurangnya daya cerna hewan terhadap fitat
Hewan non rumanansia tidak mampu mencerna asam
fitat dalam system pencernaanya. Seperti babi misalnya yang kurangan fitase
pada lambung dan aktivitas fitase endogen yang dihasilkan oleh mukosa usus
kecil tidak cukup untuk menghidrolisis fitat P dengan demikian P tidak terpakai
(Nasir Z. et., al., 2014).
Sama dengan babi ternak unggas juga dikenal buruk dalam mencerna serat kasar
dibanding ternak ruminansia lainnya hal ini disebabkan saluran pencernaan
unggas miskin akan enzim pencerna selulase yang berfungsi sebagai pencerna
serat kasar (Sahara E., et., al., 2012). Hewan non rumanasia
mengkonsumsi biji-bijian yang terdapat senyawa Fitat. Fitat hadir dalam inklusi
protein subselular disemua biji. Khususnya, dalam biji-bijian dan sereal
(Shunmugam A. S.K., et., al., 2015). Senyawa fitat juga berinteraksi dengan
beberapa enzim seperti amilase,
β-galaktosidase (Puspitaningrum A., et al., 2014), tripsin
dan pepsin sehingga menurunkan aktivitasnya dengan mengikat protein tanaman (Istiqomah L. & Biotech
M. 2015).
Hal ini menjadi masalah utama ktika hewan mngkonsumsi
gandum, biji-bijian, serealia dan biji
penhasil minyak dalam pakan karena adanya fitat yang memiliki
afinitas kuat untuk berinteraksi secara
langsung dan/atau tidak langsung dengan mineral lainnya sehingga, mengurangi
bioavailabilitas atau daya cerna hewan. Misalnya, kalsium yang terikat fitat
meningkatkan pembentukan presipitasi seng dan mineral lainnya melalui proses
chelation, sehingga membuat mereka tidak tersedia untuk ikan. Fosfor fitat dieksresikan dalam tinja oleh
hewan ternak lalu mikroorganisme mendegradasi fitat sehingga melepas fosfor
terikat yang memberi kontribusi terhadap pertumbuhan alga kemudian
penipisan oksigen di kolam sehingga menyebabkan polusi budidaya dan menyebakan
pengayaan air oleh nutrisi terhadap ekosistem perairan (Debnath D., 2005)
Aplikasi Fitase pada pakan
ternak dapat mencegahan Eotrofikasi Perairan
Pemanfaatan
fitase pada pakan dapat mengoptimalakan pemanfaatan unsur P pada hewan
monogastrik serta dapat mereduksi polusi P pada lingkungan sehingga eutrofikasi
perairan (waduk, sungai dan laut) dapat dicegah sedini mungkin (Sajidan., 2004b).
Fitase adalah enzim yang bertindak
dengan membelah off enam kelompok fosfat dari finositol 6-fosfat dan karenanya
ketika ditambahkan dalam pakan memiliki beberapa keuntungan termasuk mengurangi
kebutuhan dan membentengi pakan ternak dengan zat di atas. Diperkirakan bahwa
10 kg kalsium fosfat dapat digantikan dengan hanya 0,25 kg fitase (Bhavsar K. et al.,
2012).
Kaesimpulan
Kurangnya zat pencerna asam
fitat dalam system pemcernaan hewan ternak akan berdampak negative pada lingkungan peraira atau menimbulkan eutrifkasi karena
melalui feses hewan ternak ini asam fitat dibuang sehingga, menjadi limbah dan
mikroba tanah melakukan perombakan asam fitat yang melepaskan fosofor (P)
terikat dan disukai oleh ganggang pengganggu yang menimbulkan kepadatan tinggi
sehingga, fiktoplanton hadir dan berkembang pesat. Akibat pesatnya fiktoplanton
dapat meninmbulkan bau bekuan dan mengakibatkan air menjadi toksik dan
mengganggu kesehatan manusia.
Masalah yang disebabkan fitat menimbulkan eitrofikasi ini dapat dicegah dengan penambahan
enzim fitase pada pakan hewan ternak
yang mamapu mencerna asam fitat di dalam saluran pencernaan mereka sehingga,
fosfor dalam fitat pada pakan yang berasal dari biji-bijian dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh system pencernaaan hewan sehingga, tidak terbuang keluar
bersama feses. Aplikasi Fitase sangat bermanfaat bagi kesehatan lingkungan
perairan, karna merupakan pencegahan secara dini dan tidak memakan biaya sangat banyak. Selain eutrofikasi dapat di cegah juga para peternak
mendapatkan keuntungan bahwa pertumbuhan hewan ternak mereka menjadi lebih
berkualitas karna fiatase.
Literature
Agustini
N. 2010. Manajemen Pengelolaan Limbah
Pertanian Untuk Pakan Ternak Sapi. Kementerian Pertanian Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian NTB. Mataram.
Applegate T. J.
& Richert
B. 2007. Fitase and Other
Phosphorus Reducing Feed
Ingredients. Animal Sciences. Purdue
Extension. Purdue University.
Bintang
M. 2010. Biokimia: Teknik Penelitian. Erlangga. Jakarta.
Bhavsar
K., Kumarb
V. R., & Khirea J.M. 2012. Downstream
Processing of Extracellular Fitase from Aspergillus
niger: Chromatography Process vs. Aqueous Two Phase Extraction for its
Simultaneous Partitioning and Purification. Process
Biochemistry. 47.1066–1072
Clement,
Chris, Bricker S. B. and Pirhalla D.E..
2001 (on-line). Eutrophic Conditions in Estuarine Waters. In: NOAA's State of
the Coast Report. Silver Spring, MD: National Oceanic and Atmospheric
Administration.
Conley D. J., Paerl H. W, Howarth R. W., Boesch D.
F., Seitzinger S. P., Havens K. E., Lancelot C. & Likens G. E. 2009.
Controlling Eutrophication: Nitrogen and Phosphorus. Ekologi. Policyforum. Science.
Vol 323. 1014-1015
Debnath D, Sahu N. P., Pal A. K., Baruah K., Yengkokpam S.
& Mukherjee S. C. 2005. Present Scenario and Future Prospects of Fitase in
Aquafeed. J. Sci. Vol 18, No. 12 : 1800-1812
Dwidayanti A., Sastranegara M. H., & Haryanto T. A. D.
2012. Kajian Tingkat Trofik, Pengetahuan dan Sikap Masyarakat pada Eutrofikasi
di Desa Pernasidi, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Semarang, 11
September 2012
Hidayat
N., Padaga M. C. & Suhartini S. 2006. Mikrobiologi industri. C.V ANDI
OFFSET (ANDI). Yogyakarta
Istiqomah L. & Biotech
M. 2015.
Aplikasi Enzim Fitase pada Pabrik Pakan Unggas. Feed Activity, Publication Feed.
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Junqueira O. M., Duarte K. V., Assuena V., Silva R. D.
Filardi, Laurentiz A. C. D. & Praes M. F. F.M. 2011. Effect Of Fitase Supplementation On
Performance, Bone Densitometry And Carcass Yield In Broilers Chicks. J. Maringá. Vol. 33, No. 3, 301-307
Kusumadjaja A. P. 2012. Penapisan, karakterisasi
fitase dan analisis homologi gen penyandi fitase dari bakteri termofilik kawah ijen banyuwangi. Disertasi.
Fakultas sains dan teknologi universitas airlangga, Surabaya Indonesia.
Ménesguen A., Duguet J. P., Duchemin J.,
Bonnefoy X. 2002. Eutrophication and health. World
Health Organization Regional Office for Europe end European Commission.
Mishra I. G., Sasidharan S. and Tiwari S. 2014. Aspergillus Candidus:
A Fitase Producing Fungi. INT J CURR
SCI, 12: 1-7
Ngili
Y. 3013. Biokimia dasar, edisi revisi. Rekayasa sains. Bandung
Nuhriawangsa A. M.
P., Sajidan, Bachruddin Z. & Wibowo A. 2012. Pengaruh Pemberian Fitase Dari Bakteri Rekombinan pEASl-AMP Asli
Indonesia Terhadap Performan Produksi dan Profil Darah pada Ayam Broiler Fase
Grower. ISAA Publication. 1. 203-208.
Nasir
Z., Broz J., & Zijlstra R.T. 2014. Supplementation of a Wheat-Based Diet
Low in Phosphoruswith Microbial 6-Fitase Expressed in Aspergillus oryzae Increases Digestibility and Plasma Phosphorus
but Notperformance in Lactating Sows. Animal
Feed Science and Technology. 198. 263–270
Prepas
E. E. &, Charette T., 2003. Worldwide Eutrophication of Water Bodies: Causes, Concerns, Controls. Treatise On Geochemistry.Vol. 9; 311–331
Sajidan,
Nuhriawangsa A. M. P, Fadhilah S. Z, Erikawati E & Iryani D. 2009. Isolasi dan Karakterisasi Fitase Pada
Mikrobia Yang Terdapat Pada Pupuk Kompos, Rumen Sapi , Ragi Dan
Tanah Sawah. J. Sains Peternakan. Vol. 7 (1):14-19.
Sajidan,
Nuhriawangsa A., M., P. & Ratrianto A. 2004. Pengaruh bakteri penghasil
fitase pada pakan campuran wheat pollard terhadap performan ayam broiler. J. Bulletin peternakan. Vol. 38 (3)
114-121
Sajidan
A., Farouk A., Greiner R., P. Jungblut., Müller
E.-C. & Borriss R. 2004. Molecular and Physiological Characterisation
of a 3 Fitase. from soil Bacterium Klebsiella
sp. ASR1. J. Microbiol Biotechnol
. Vol. 65: 110–118
Sajidan.
2009. Teknologi Rekombinan Enzim Fitase dan Implementasinya dalam Pembelajaran
Mata Kuliah Biokimia, Genetika dan Bioteknologi. UPT Perpustakaan UNS (Universitas
Negeri Sebelas maret) Surakarta
Shunmugam A. S.K., Bock C., Gene C. Arganosa, Georges F., Gray G. R., & Warkentin T. D.
2015. Accumulation of Phosphorus-Containing Compounds in Developing Seeds of
Low-Phytate Pea (Pisum
sativum L.) Mutants. Plants, 4, 1-26;
Singh N. K., Joshi D. K. & Gupta
R. K. 2013. Isolation
of Fitase Producing Bacteria and Optimization of Fitase Production Parameters. Jundishapur Journal of Microbiology. 6(5): e6419
Simanjuntak M. 2009. Hubungan faktor Lingkungan Kimia, Fisika
Terhadap Distribusi Plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung.
Jurnal perikanan . J. Fish. Sci. Xi (1): 31-45
Siti
Wahyuni
H.S. 2003. Fermentasi Dedak Padi oleh
Kapang Aspergillus Ficuum dan Pengaruhnya
Terhadap Kadar Fitat, Kualitas Protein
Kasar serta Energi Metabolis pada Ayam. Jurnal Bionatura, Vol. 5, No. 2: 141 –
149
Sahara E., Raudhaty E., & Maharany F.. 2012. Performa Ayam
Broiler dengan Penambahan Enzim Fitase dalam Ransum Jurnal Peternakan Sriwijaya
(JPS). Vol. 1 No. 1
Seran E. 2010. Fosfor Dan Bahaya Bom
Fosfor. https://wanibesak.wordpress.com/tag/sifat-kimia-fosfor. Akses 11/1/2015. Chemistry For Peace Not For War
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments