Visi dan Misi Diri

Visi: Menjadi seseorang yang berkepribadian tangguh yang mampu membawa diri sendiri beserta keluarga ke dalam kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat, dan juga kehidupan yang mempunyai nilai manfaat bagi orang lain. Misi: - (Bekerja dengan giat, serta mempelajari ilmu yang mungkin dibutuhkan untuk memulai berwirausaha) - (Selalu menggali ilmu-ilmu baru (yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan)) - (Membangun jaringan koneksi/kemitraan) - (Membentuk karakter diri dengan selalu memperhatikan dan mengarahkan prilaku diri ke arah yang lebih baik) - (Membuat perencanaan terhadap segala hal yang akan dilakukan) - Menerapkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari - Memulai merintis usaha dan mencoba untuk terus mengembangkannya agar dapat menampung pekerja

Rabu, 04 Mei 2016

thumbnail

Enzim Fitase dalam Mencegah Eutrofikasi Perairan Akibat Limbah Fosfor (P) Bentuk Fitat pada Veses Ternak.

Oleh:
Muhammad Eka Hidayatullah

Abstrak
Eutrofikasi perairan terjadi akibat pesatnya laju pertumbuhan gagngang pengganggu ekosistem perairan yang disebakan senyawa nitrogen dan atau fosfor yang terbuang keperarian dalam bentuk senyawa fitat (myo-inositol 1, 2, 3, 4, 5, 6-hexa kis dihidrogen fosfat, InP6) dari fosfat di alam yaitu sebagian besar terdapat dalam jenis tanaman kacang-kacangan, serealia, dan biji penghasil minyak, dalam bentuk fitat sehingga, keluar bersama feses hewan ternak dan di rombak oleh mikroba sehingga, fosfor terlepas dan menjadi polusi. Pencegahan dengan enzim bisa dilakukan karena enzim memilki keunikan 100% dalam mepercepat rekasi kimia, hanya dengan sejumlah kecil saja dapat merobak sebuah molekul dalam tingkat subsatrat tampa menguba posisi keseimbangan.  Enzim fitase (Myo-inositol heksakisfosfat fosfohidrolase) adalah enzim yang dapat mendefosforilasi mulekul fitat yang dapat melepas fosfor (P) karena enzim fitase meiliki kemampuan untuk melepas molekul fosfor (H2PO4) pada atom C dari gugus benzena Inositol. Pemanfaatan fitase pada pakan dapat mengoptimalakan pemanfaatan unsur P pada hewan monogastrik serta dapat mereduksi polusi P pada lingkungan sehingga eutrofikasi perairan dapat dicegah sedini mungkin.
Kata kunci: Fitase, Senyawa Fitat, Fosfor, Eutrofikasi Perairan

Pendahuluan.
Eutrofikasi perairan merupakan hal yang sangat bebahaya dimana proses yang kopleks terjadi diperairan dan laut akibat pertumbuhan ganggang pengganggu ekosistem dari jenis tertentu yang cukup tinggi karena berinteraksi langsung dengan lingkungan sehingga, menjadi ancaman bagi kesehatan hewan dan manusia. Penyebab utama eutrofikasi adalah konsentrasi yang berlebihan dari nutrisi tanaman berasal dari pertanian atau pengolahan limbah (Ménesguen A., et al., 2002). Selain itu dapat menyebabakan pesatnya pertumbuhan cyanobacterial yang dapat menjadi racun, menyebabkan hipoksia, dan mengganggu jaring makanan (Conley D. J., et la,. 2009). Seiring dengan perkembangan aktivitas manusia, berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi kondisi perairan, misalnya faktor fisika dan kimia perairan (Simanjuntak M., 2009).
Nutrisi seperti senyawa fitat yang terdapat pada biji-bjian yang tidak bisa dicerna oleh sistem pencernaan hewan non rumanansia sehingga senyawa fitat terbuang bersama kotoran dalam bentuk ikatan fitat dengan fosfor (P) ke lingkungan secara simultan, implikasinya terjadi kerusakan ekologis yang sangat serius. Sumber limbah ternak yang mengandung P pada fitat merupakan sumber polusis (Nuhriawangsa A. M. P., et al., 2012). Selain limbah kotoran ternak residu pupuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman dapat memacu eutrofikasi (Dwidayanti A. ., et al., 2012).
Senyawa fitat yang ada dalam kotoran ternak bukan saja terdapat dalam biji-bijian yang tidak bisa dicerna namaun para peternak juga menggunakan P hasil industry karena biaya pakan yang cukup mahal. Biaya pakan dapat mencapai 60-80% dari biaya produksi (Agustini N, 2010). Selain menimbulkan etrofikasi, fitat yang ada dalam air juga dapat menurunkan berat dan pertumbuhan ikan jika peningkatan kadar fitat 1,1% sampai 2,2% dan penambahan natrium fitat (25,8 g-kg 1) dalam pakan. Hasil penelitian menjelakan dampak negatif dari asam fitat yang ditambah pada pakan maupun yang keluar bersam kotoran hewan. Hewan air seperti ikan mas akan berdampak langsung pada penuruanan pertumbuhannya (Debnath D. 2005). Masalah eutrofikasi perairan yang diakaibatkan oleh senyawa fitat ini perlu mendapatkan perhatian dari semua kalangan sehingga pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Solusi dari permasalah lingkungan perairan bisa dilakukan dengan menggunakan penambahan enzim fitase pada pakan ternak untuk mencagah keluarnya fitat pada kotoran hewan non rumanansia.
Fitase merupakan salah satu enzim yang tergolong dalam kelompok fosfatase yang mampu menghidrolisis senyawa fitat menjadi myo-inositol dan fosfat anorganik. Studi tentang fitase sangat pesat pada bebarapa tahun terakhir karena enzim ini bermanfaat terutama sebagai campuran pakan ternak guna mereduksi senyawa fitat, sehingga pemanfaatan unsur fosfor dalam tubuh ternak non ruminansia menjadi optimal sehingga, eutrofikasi dipermukaan perairan dapat dicegah (Sajidan, et., al., 2009)

Eutrofikasi Perairan.
Kata “eutrofikasi” sekarang sedang digunakan sebagai sebuah perspektif dalam menjaga kualitas ekologi perairan, misalnya dalam Direktif Uni Eropa dan berbagai perjanjian internasional mendefenisikan "Eutrofikasi adalah percepatan pertumbuhan ganggang dalam bentuk yang lebih tinggi yang disebabkan oleh pengayaan air oleh nutrisi tanaman, terutaman senyawa nitrogen dan atau fosfor sehingga, menimbulkan gangguan kesemimbangan organisme yang ada dan hadir pada perairan tersebut (Ménesguen A., et al., 2002).
Penumpukan nutrisi tanaman secara bertahap pada ekosisitem selama jangka waktu tertentu dan bisanya akan mengarah ke muara produktif, sehat dan lingkungan laut. Kondisi ini, meliputi oksigen terlarut rendah konsentrasinya, penurunan rumput laut, dan alga berbahaya meningkat, ini semua dapat mempengaruhi penggunaan muara dan sumber daya pesisir dengan mengurangi keberhasilan perikanan komersial dan menyebabkan masalah bau dari pembusukan jumlah alga berlebihan. Meskipun banyak penelitian tentang hal ini namun bagaimanapun, hubungan antara eutrofikasi pesisir dan efek pada hidup sumber daya kelautan dan perikanan tidak dipahami dengan baik atau dihitung (Clement et., al., 2001).
Tingginya kepadatan akibat berkembang pesatnya berbgai macam tumbuhan berbahaya mengakibatkan fiktolanton meningkat biasanya dengan lingkungan air yang padat mereka berkembang biak dengan cepat. Fiktoplanton sangat menyukai kepadatan tinggi sehingga, implikasinya disepanjang perairan mengeluarkan bau bekuan atau massa fiktoplanton membusuk yang menurunkan nilai rekreisi para wisatawan. Perkembangan fiktoplanton menyebakan produksi toksin (racun) meningkat yang dapat menyebar luaskan penyakit. Sangat jarang eutrofikasi terjadi secara alami (Prepas E. E. &, Charette T., 2003).

Senyawa fitat dan fosfor (P).
Asa m fitat (myo-inositol 1, 2, 3, 4, 5, 6-hexa kis dihidrogen fosfat, InP6) adalah bentuk penyimpanan fosfat di alam (Singh N. K., et. al., 2013) sebagian besar terdapat dalam jenis tanaman kacang-kacangan, serealia, dan biji penghasil minyak, misalanya pada jagung, kedelai dan gadum mengandung asam fitat 1-2% berat kering namun beberapa tanaman lain dapat mengandung 3-6% berat kering (Kusumadjaja A. P., 2012) sedangkan dedak padi mengandung 1,44 % fosfor dan 80 % di antaranya dalam bentuk fitat (Siti Wahyuni H.S., 2003) pada kondisi alami, asam fitat bersifat sebagai agen pengkhelat yang akan membentuk ikatan baik dengan mineral bervalensi dua (P, Ca, Mg, Fe), maupun dengan protein menjadi senyawa yang sukar larut. (Puspitaningrum A., et al., 2014).
Sebagian besar fosfor yang hadir dalam biji-bijian sereal, kacang-kacangan dan biji-bijian minyak dalam bentuk fitat. Fosfor fitat tidak tersedia untuk hewan monogastrik (seperti unggas, babi dan ikan) karena kurangnya tingkat yang memadai enzim fitase dalam saluran pencernaan mereka (Mishra I. G., et al., 2014). Fosfor merupakan unsur nonlogam dalam tabel periodik diberi simbol P, nomor atom 15. Fosfor di alam sebagian besar ditemukan dalam senyawaan fosfat sebagai batu fosfat. Fosfor memiliki tiga bentuk (alotrop) yaitu fosfor putih, fosfor merah dan fosfor hitam. Fosfor putih tersusun atas 4 atom P dengan bentuk tetrahedral, sedangkan fosor merah dan fosfor hitam struktur yang dimiliki belum diketahui secara jelas namun diduga polimer atau gabungan dari molekul P4 (Seran E., 2010). Fosfor organik umumnya Bisa naik 30% -80% dari Total P pada lapisan permukaan tanah, dan sekitar setengah dari P organik adalah asam fitat dan turunannya (Shengfang H., et al.,  2007).

Enzim Sebagai Katalisator.
Enzim disebut sebagai katalis biologis karena enzim dapat negubah suatu reaksi kimia, hanya dibutuhkan sejumlah kecil enzim untuk melakukan perubahan besar termasuk merombak  pada molekul substrat (Bintang M., 2010). Enzim dapat dihasilkan dari tanaman, hewan dan mikroba (Hidayat N., et al., 2006) biasanya terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam sel, dalam hal ini mereka meningkatkan laju reaksi tampa mengubah posisi keseimbangan. Laju reaksi ke depan maupun kebalikanya ditingkatkan dalam faktor yang tetap sama (Ngili Y., 2013). Enzim sangat unik bahwa mereka sangat selektif untuk memilih substrat (Zat atau molekul yang membuat mereka aktif) dan produk akhir yang dihasilkan. Sebuah analog tentang bagaimana enzim bisa berfungsi dan menghasilkan produk akhir tertentu. Enzim dan substrat memiliki konfigurasi yang unik dan merupakan sebuah kunci yang bisa membuka mereka. Enzim biasanya memiliki kondisi ideal (suhu, pH dll) dimana mereka berfungsi lebih bagus, misalanya fitase tanaman bekerja lebih baik pada 45OC hingga 60 oC (113-140° F) sedangkan fitase mikroba lebih baik pada rentang suhu 35-63o C (95 untuk 145o F) (Applegate T. J. & Richert B., 2007).

Enzim Fitase.
Fitase adalah enzim yang dapat mendefosforilasi mulekul fitat yang dapat melepas fosfor (P) dan kation divalen lain yang dapat digunakan oleh ayam broiler (pedaging) atau hewan non rumanansia lainnya (Junqueira O. M., et al., 2011). Fitase merupakan kelompok enzim fosfatase seperti yang dijelakan diatas. Tahun 1977 International Union of Pure and Apllied Chemistry (IUPAC) mengelompokkan enzim fitase menjadi 2 yaitu: 3-fitase dan 6-fitase. Pengelompokan ini didasarkan pada kemampuan enzim fitase untuk melepas molekul phosphor (H2PO4) pada atom C dari gugus benzena Inositol. Enzin 3-fitase tedapat dalam miroba yang memilki kemampuan menghidrolisis molekul fosfor pada atom C nomor 3 dari gugus benzena inositol. Namun setelah itu Greiner tahun 1993 menemukan 6-fitase dari bakteri Escherichia coli strain ATCC 33965 (Sajidan., 2009).
Selain kemampuan mereka untuk membuat fosfor fitat tersedia, juga penghapusan kelat pembentuk fitat yang dikenal mengikat mineral penting, selain itu efek menguntungkan lain dari aktivitas fitase adalah sebagian besar fitase mikroba dikodekan oleh gen yang telah berevolusi dari fosfatase asam histidin yang mengandung motif urutan RHGXRXP dengan pengecualian dari gen E. coli Appa. Namun berdasarkan dari sedikit informasi bahwa bakteri tanah yang dikenal sampai sekarang dan satu-satunya yang memiliki gen fitase yaitu Bacillus spp. tetapi tidak mengandung motif urutan RHGXRXP. Namun gen fitase yang mengkode Klebsiella spp. masih belum diketahui. Berangkat dari hal ini dilakukan survei fitase yang diproduksi oleh bakateri dari sampel tanah sawah Indonesia, dari hasil survei dilaporkan bahwa gen yang mengkode fitase yang dapat mendegradasi fitat adalah enzim fitase dari Klebsiella sp. ASR1 memiliki karekter produk fungsional yang dapat mendegradasi fitat ke Myo-inositol monofosfat [Ins (2) P]. urutan asam amino ini dideduksi dari 3-fitase-encoding gen phyK yang ditemukan berbeda dari yang lain tapi mengandung motif urutan yang umumnya dilestarikan difosfatase asam histidin (Sajidan A., et., al., 2004a).

Mekanisme Eotrifikasi Akibat kurangnya daya cerna hewan terhadap fitat
Hewan non rumanansia tidak mampu mencerna asam fitat dalam system pencernaanya. Seperti babi misalnya yang kurangan fitase pada lambung dan aktivitas fitase endogen yang dihasilkan oleh mukosa usus kecil tidak cukup untuk menghidrolisis fitat P dengan demikian P tidak terpakai (Nasir Z. et., al., 2014). Sama dengan babi ternak unggas juga dikenal buruk dalam mencerna serat kasar dibanding ternak ruminansia lainnya hal ini disebabkan saluran pencernaan unggas miskin akan enzim pencerna selulase yang berfungsi sebagai pencerna serat kasar (Sahara E., et., al., 2012). Hewan non rumanasia mengkonsumsi biji-bijian yang terdapat senyawa Fitat. Fitat hadir dalam inklusi protein subselular disemua biji. Khususnya, dalam biji-bijian dan sereal (Shunmugam A. S.K., et., al., 2015). Senyawa fitat juga berinteraksi dengan beberapa enzim seperti amilase, β-galaktosidase (Puspitaningrum A., et al., 2014),  tripsin dan pepsin sehingga menurunkan aktivitasnya dengan mengikat protein tanaman (Istiqomah L. & Biotech M. 2015).
Hal ini menjadi masalah utama ktika hewan mngkonsumsi gandum, biji-bijian, serealia dan biji penhasil minyak dalam pakan karena adanya fitat yang memiliki afinitas  kuat untuk berinteraksi secara langsung dan/atau tidak langsung dengan mineral lainnya sehingga, mengurangi bioavailabilitas atau daya cerna hewan. Misalnya, kalsium yang terikat fitat meningkatkan pembentukan presipitasi seng dan mineral lainnya melalui proses chelation, sehingga membuat mereka tidak tersedia untuk ikan. Fosfor fitat dieksresikan dalam tinja oleh hewan ternak lalu mikroorganisme mendegradasi fitat sehingga melepas fosfor terikat yang memberi kontribusi terhadap pertumbuhan alga kemudian penipisan oksigen di kolam sehingga menyebabkan polusi budidaya dan menyebakan pengayaan air oleh nutrisi terhadap ekosistem perairan (Debnath D., 2005)

Aplikasi Fitase pada pakan ternak dapat mencegahan Eotrofikasi Perairan
Pemanfaatan fitase pada pakan dapat mengoptimalakan pemanfaatan unsur P pada hewan monogastrik serta dapat mereduksi polusi P pada lingkungan sehingga eutrofikasi perairan (waduk, sungai dan laut) dapat dicegah sedini mungkin (Sajidan., 2004b). Fitase adalah enzim yang bertindak dengan membelah off enam kelompok fosfat dari finositol 6-fosfat dan karenanya ketika ditambahkan dalam pakan memiliki beberapa keuntungan termasuk mengurangi kebutuhan dan membentengi pakan ternak dengan zat di atas. Diperkirakan bahwa 10 kg kalsium fosfat dapat digantikan dengan hanya 0,25 kg fitase (Bhavsar K. et al., 2012).

Kaesimpulan
Kurangnya zat pencerna asam fitat dalam system pemcernaan hewan ternak akan berdampak negative pada lingkungan peraira atau menimbulkan eutrifkasi karena melalui feses hewan ternak ini asam fitat dibuang sehingga, menjadi limbah dan mikroba tanah melakukan perombakan asam fitat yang melepaskan fosofor (P) terikat dan disukai oleh ganggang pengganggu yang menimbulkan kepadatan tinggi sehingga, fiktoplanton hadir dan berkembang pesat. Akibat pesatnya fiktoplanton dapat meninmbulkan bau bekuan dan mengakibatkan air menjadi toksik dan mengganggu kesehatan manusia.
Masalah yang disebabkan fitat menimbulkan eitrofikasi ini dapat dicegah dengan penambahan enzim  fitase pada pakan hewan ternak yang mamapu mencerna asam fitat di dalam saluran pencernaan mereka sehingga, fosfor dalam fitat pada pakan yang berasal dari biji-bijian dapat dimanfaatkan dengan baik oleh system pencernaaan hewan sehingga, tidak terbuang keluar bersama feses. Aplikasi Fitase sangat bermanfaat bagi kesehatan lingkungan perairan, karna merupakan pencegahan secara dini dan tidak memakan biaya sangat banyak. Selain eutrofikasi dapat di cegah juga para peternak mendapatkan keuntungan bahwa pertumbuhan hewan ternak mereka menjadi lebih berkualitas karna fiatase.

Literature
Agustini N. 2010. Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian Untuk Pakan Ternak Sapi. Kementerian Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Mataram.

Applegate T. J.  & Richert B. 2007.  Fitase and Other Phosphorus Reducing Feed Ingredients. Animal Sciences. Purdue Extension. Purdue University.

Bintang M. 2010. Biokimia: Teknik Penelitian. Erlangga. Jakarta.

Bhavsar K., Kumarb V. R., & Khirea J.M. 2012. Downstream Processing of Extracellular Fitase from Aspergillus niger: Chromatography Process vs. Aqueous Two Phase Extraction for its Simultaneous Partitioning and Purification. Process Biochemistry. 47.1066–1072
Clement, Chris, Bricker  S. B. and Pirhalla D.E.. 2001 (on-line). Eutrophic Conditions in Estuarine Waters. In: NOAA's State of the Coast Report. Silver Spring, MD: National Oceanic and Atmospheric Administration.
Conley D. J., Paerl H. W, Howarth R. W., Boesch D. F., Seitzinger S. P., Havens K. E., Lancelot C. & Likens G. E. 2009. Controlling Eutrophication: Nitrogen and Phosphorus. Ekologi. Policyforum. Science. Vol 323. 1014-1015
Debnath D, Sahu N. P., Pal A. K., Baruah K., Yengkokpam S. & Mukherjee S. C. 2005. Present Scenario and Future Prospects of Fitase in Aquafeed.  J. Sci. Vol 18, No. 12 : 1800-1812
Dwidayanti A., Sastranegara M. H., & Haryanto T. A. D. 2012.  Kajian Tingkat Trofik, Pengetahuan dan Sikap Masyarakat pada Eutrofikasi di Desa Pernasidi, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Semarang, 11 September 2012
Hidayat N., Padaga M. C. & Suhartini S. 2006. Mikrobiologi industri. C.V ANDI OFFSET (ANDI). Yogyakarta
Istiqomah L. & Biotech M. 2015. Aplikasi Enzim Fitase pada Pabrik Pakan Unggas. Feed ActivityPublication Feed. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Junqueira O. M., Duarte K. V., Assuena V., Silva R. D. Filardi, Laurentiz A. C. D. & Praes M. F. F.M. 2011. Effect Of Fitase Supplementation On Performance, Bone Densitometry And Carcass Yield In Broilers Chicks. J. Maringá. Vol. 33, No. 3, 301-307
Kusumadjaja A. P. 2012. Penapisan, karakterisasi fitase dan analisis homologi gen penyandi fitase dari bakteri termofilik kawah ijen banyuwangi. Disertasi. Fakultas sains dan teknologi universitas airlangga, Surabaya Indonesia.
Ménesguen A., Duguet J. P., Duchemin J., Bonnefoy  X. 2002. Eutrophication and health. World Health Organization Regional Office for Europe end European Commission.
Mishra I. G., Sasidharan S. and Tiwari S. 2014. Aspergillus Candidus: A Fitase Producing Fungi. INT J CURR SCI, 12: 1-7
Ngili Y. 3013. Biokimia dasar, edisi revisi. Rekayasa sains. Bandung
Nuhriawangsa A. M. P., Sajidan, Bachruddin Z. & Wibowo A. 2012. Pengaruh Pemberian Fitase Dari Bakteri Rekombinan pEASl-AMP Asli Indonesia Terhadap Performan Produksi dan Profil Darah pada Ayam Broiler Fase Grower. ISAA Publication. 1. 203-208.
Nasir Z., Broz J., & Zijlstra R.T. 2014. Supplementation of a Wheat-Based Diet Low in Phosphoruswith Microbial 6-Fitase Expressed in Aspergillus oryzae Increases Digestibility and Plasma Phosphorus but Notperformance in Lactating Sows. Animal Feed Science and Technology. 198. 263–270
Prepas E. E. &, Charette T., 2003. Worldwide Eutrophication of Water Bodies: Causes, Concerns, Controls. Treatise On Geochemistry.Vol. 9; 311–331

Sajidan, Nuhriawangsa A. M. P, Fadhilah S. Z, Erikawati E & Iryani D. 2009. Isolasi dan Karakterisasi Fitase Pada Mikrobia Yang Terdapat Pada Pupuk Kompos, Rumen Sapi , Ragi  Dan Tanah Sawah. J. Sains Peternakan. Vol. 7 (1):14-19.
Sajidan, Nuhriawangsa A., M., P. & Ratrianto A. 2004. Pengaruh bakteri penghasil fitase pada pakan campuran wheat pollard terhadap performan ayam broiler. J. Bulletin peternakan. Vol. 38 (3) 114-121
Sajidan A., Farouk A., Greiner R., P. Jungblut., Müller  E.-C. & Borriss R. 2004. Molecular and Physiological Characterisation of a 3 Fitase. from soil Bacterium Klebsiella sp. ASR1. J. Microbiol Biotechnol . Vol. 65: 110118
Sajidan. 2009. Teknologi Rekombinan Enzim Fitase dan Implementasinya dalam Pembelajaran Mata Kuliah Biokimia, Genetika dan Bioteknologi. UPT Perpustakaan UNS (Universitas Negeri Sebelas maret) Surakarta
Shunmugam A. S.K., Bock C., Gene C. Arganosa, Georges F., Gray G. R., & Warkentin T. D. 2015. Accumulation of Phosphorus-Containing Compounds in Developing Seeds of Low-Phytate Pea (Pisum sativum L.) Mutants. Plants, 4, 1-26;
Singh N. K., Joshi D. K. & Gupta R. K. 2013. Isolation of Fitase Producing Bacteria and Optimization of Fitase Production Parameters. Jundishapur Journal of Microbiology. 6(5): e6419
Simanjuntak M. 2009. Hubungan faktor Lingkungan Kimia, Fisika Terhadap Distribusi Plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. Jurnal perikanan . J. Fish. Sci. Xi (1): 31-45
Siti Wahyuni H.S. 2003. Fermentasi Dedak Padi oleh Kapang Aspergillus Ficuum dan Pengaruhnya Terhadap Kadar Fitat, Kualitas Protein Kasar serta Energi Metabolis pada Ayam. Jurnal Bionatura, Vol. 5, No. 2: 141 – 149
Sahara E., Raudhaty E., & Maharany F.. 2012. Performa Ayam Broiler dengan Penambahan Enzim Fitase dalam Ransum Jurnal Peternakan Sriwijaya (JPS). Vol. 1 No. 1
Seran E. 2010. Fosfor Dan Bahaya Bom Fosfor. https://wanibesak.wordpress.com/tag/sifat-kimia-fosfor. Akses 11/1/2015. Chemistry For Peace Not For War


Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments

About